Resensi buku sebenarnya bukan hal asing bagi
orang yang pernah mengenyam bangku sekolah.
Di tingkat SMP saja murid-murid sudah
mendapat materi tentang resensi buku ini. Lengkap dengan tugas untuk membuat
resensi, biasanya resensi novel.
Menulis Resensi Buku
Lazimnya, tugas diberikan jika materi
sudah disampaikan terlebih dahulu. Jadi, murid-murid paham harus melakukan apa.
Dalam hal membuat resensi buku,
berarti semua murid (dianggap) sudah paham bahwa untuk meresensi buku itu harus
membaca bukunya.
Iya, bukunya harus benar-benar ada,
bukan cuma di awang-awang. Buku itu pun harus dibaca, bukan diterawang.
Selain itu, murid-murid pun mestinya sudah
tahu unsur-unsur apa saja yang mesti diperhatikan dan diulas dari buku yang
diresensi.
Jika yang diresensi itu novel,
berarti ketika membaca novel tersebut, harus tahu jalan ceritanya seperti apa,
setingnya kapan dan di mana, penokohannya bagaimana, dan sebagainya.
Sampai di sini terlihat baik-baik
saja, ya. Nah, sekarang yuk ikut Ada Resensi ngulik apa yang dilakukan sebagian
murid-murid ini ketika mendapat tugas meresensi buku, khususnya novel.
Bukan Begini Cara Membuat Resensi Buku
Tentunya, tidak semua murid seperti
ini. Namun, ini temuan riil Ada Resensi di lapangan.
1. Resensi Buku Best Seller
Siang itu Ada Resensi sedang mencari
buku lawas di sebuah kios buku bekas di kawasan Dewi Sartika, Bandung.
Lagi asyik-asyiknya mencari buku
sambil mengobrol dengan pemilik kios, datang tiga remaja berseragam SMA.
“A’, ada novel?” tanya salah seorang
di antara mereka, sebut saja namanya Mawar.
A’ atau Aa adalah sapaan buat kaum
lelaki di Tanah Sunda, sama halnya dengan sapaan Akang atau Kang.
“Banyak, Neng,” sahut si Aa. “Mangga,
pilih aja mau novel apa.”
Tangan si Aa menunjuk pada tumpukan
novel bekas di kiosnya. Meskipun bekas, kondisi buku-buku di kiosnya masih
bagus dan layak baca.
“Novel
Tere Liye ada, A? Atau novel best seller lainnya juga boleh,” tanya Mawar
“Eh, memangnya mesti yang best seller ya?”
tanya Melati pada Mawar.
“Enggak sih. Tapi kalau novel best
seller kan kita gampang bikin resensinya,” jawab Mawar.
“Iya, Ti. Nanti kan kita tinggal foto
aja. Resensinya nyari di internet. Nggak perlu repot-repot baca novelnya,” sambung Kembang Sepatu. “Kalau yang nggak
terkenal atau nggak best seller, susah dapet resensinya.”
Untuk bisa menulis resensi novel, pertama: baca dulu novel tersebut. Foto: Pixabay |
Ada Resensi nggak tahan, nih. Langsung balik badan ke arah ketiga remaja itu.
“Dek, bikin resensi karyamu sendiri.
Baca bukunya, pahami isinya, tulis resensi versi kamu sendiri. Jangan kopas
dari internet. Dari SMA mana nih kalian? Siapa tahu saya kenal dengan guru
kalian.”
Ketiga remaja itu mingkem.
“Tuuuuh, dengerin tuuuh kata Ibu
Guru,” celetuk si Aa sambil cengengesan.
Tugas resensi novel yang harus
dikerjakan tiga remaja itu mensyaratkan mereka berfoto dengan novel yang
diresensi.
Mungkin itu cara guru mereka
memastikan murid-muridnya benar-benar membaca buku yang dimaksud.
Sayangnya, murid-murid menemukan
celah lain untuk mempertahankan kemalasan mereka dalam membaca dan menulis
resensi. Beli bukunya, foto bareng buku, resensinya kopas saja dari internet.
Duh, bukan begitu maksud guru kalian,
Neeeeng.
Eh btw, Ada Resensi memang pernah
jadi guru, tapi itu duluuuu, dulu sekali, sebelum Sun Go Kong pergi ke barat
untuk mencari kitab suci.
2. Menyapa Penulis Buku
Media sosial memudahkan pembaca
terhubung dengan penulis
novel. Ada yang karena telah membaca bukunya lalu ingin say hi, ada pula
yang ingin belajar menulis.
Namun, ada juga yang menyalahgunakan
kemudahan berkomunikasi ini.
Pembaca: Selamat siang, Kak. Saya
sudah beli novel Kakak yang judulnya It’s Not A Dream.
Novel remaja It's Not A Dream. |
Penulis: Wah, alhamdulillah. Terima
kasih, yaaa.
Pembaca: Sama-sama, Kak. Oya Kak,
saya kan ada tugas bikin resensi dari sekolah. Boleh minta tolong, Kak?
Pertanyaan itu tak langsung dijawab. Memang ada kemungkinan anak ini mencari behind the screen dari sebuah novel agar resensinya lebih lengkap dan dia mendapat nilai plus. Tapi… lebih seringnya bukan begitu.
Pembaca: Jadi, begini Kak. Saya butuh informasi ini:
- Novel Kakak ini terbitan mana ya, Kak?
- Nama tokoh utama dan tokoh pendampingnya siapa?
- Settingnya di mana dan tahun berapa?
- Alurnya seperti apa?
- Konfliknya apa dan bagaimana penyelesaiannya?
- Kalimat mana yang menarik untuk dijadikan quote?
Bukan hanya satu-dua pengarang yang pernah
mendapat pesan japri seperti itu dari anak sekolahan.
Yas Marina pernah dijapri seperti itu
oleh pembaca novel Princess
Mayana. Begitu juga Idha Febriana, banyak anak sekolah mengajukan
pertanyaan serupa untuk novelnya, Sky Melodi. Vina Sri juga sering ditanya seperti itu oleh anak sekolahan yang hendak meresensi novel Kokeshi.
Para pengarang seperti Dahlian, Glenn Alexei, Dyah Prameswarie, Retni SB, dan Kamal Agusta pun kerap mengalami hal yang sama. Begitu juga Boy Candra yang pernah mengangkat masalah itu di akun Instagramnya.
Yang lebih ajaib pun ada. Meminta sang
penulis novel membuatkan resensi novelnya sendiri untuk si anak sekolah itu. Alasannya,
“Kan aku sudah beli novel Kakak. Sekarang Kakak bikinkan resensinya ya buat
tugas sekolahku.”
Apakah para pengarang mengabulkan
permintaan para pembacanya itu?
Oh, tentu saja tydack! Ada yang
memilih tak menjawab pesan itu lagi (mungkin saking speechless atau kesalnya),
ada juga yang memilih menasihati si penanya.
Belajar Menulis Resensi Buku
Miris sekali melihat kelakuan
anak-anak ini. Diberi tugas membuat resensi novel malah memplagiat resensi karya
book
reviewer yang dapat dengan mudah ditemukan di internet.
“Aku nggak suka baca novel, eh malah
dikasih tugas bikin resensi
novel.”
Hai, Dek, novel ini hanyalah salah
satu jenis buku yang bisa dibuat resensinya. Buku-buku jenis lain pun bisa saja
diresensi. Dari buku anak, buku-buku how to, biografi, buku traveling karya travel
blogger, sampai buku filsafat dan politik.
Bayangkan kalau ditugaskan meresensi kamus Oxford. Foto: Pixabay. |
Guru kalian memilih menugaskan
meresensi novel mungkin karena melihat anak-anak remaja umumnya senang membaca
novel.
Novel remaja pun mudah sekali
ditemukan. Mau itu novel karya penulis lokal atau novel terjemahan. Mau itu
novel baru yang masih bersegel atau novel bekas. Bahkan tak ada larangan untuk
meresensi novel yang ada di perpustakaan.
Mengambil resensi karya orang dari
internet lalu mengakuinya (pada gurumu) sebagai karyamu adalah tindakan tak terpuji.
Plagiat loh, itu.
Memaksa pengarang yang bukunya kamu
beli untuk membuatkan resensi untukmu… itu
konyol sekali.
Belajar
menulis resensi sendiri. Baca bukunya, cari unsur-unsur pentingnya, lalu
tulis resensi versimu sendiri.
Kesimpulan
Menumbuhkan minat baca dan tulis
memang bukan perkara mudah. Lihat saja jalan pintas yang dilakukan sebagian remaja
ketika mendapat tugas membuat resensi buku.
Guru-guru sebaiknya lebih peduli, bukan
asal tugas terkumpul lalu beres. Tugasnya itu hasil nyolong tulisan orang lain
atau bukan?
Mengecek plagiat atau tidaknya sebuah
karya juga cukup gampang. Ada banyak web yang menyediakan fitur pengecekan ini, misalnya smallseotools dan duplichecker.
Atau boleh juga meminta para murid
mengumpulkan tugas resensi berikut pernyataan bahwa itu benar hasil karyanya
dan bersedia nilainya dikurangi jika terbukti plagiat.
Kalau Teman-teman punya pengalaman serupa atau punya ide untuk mengatasi hal seperti ini, boleh loh berbagi di kolom komentar.
Resensi buku anak, resensi novel, resensi buku nonfiksi.
BalasHapus