“Orang dari daerah bisa jadi penulis
nggak sih?”
Sekitar 12 sampai 10 tahun lalu, pertanyaan
seperti ini masih kerap muncul. Baik secara terbuka melalui media sosial yang
bebas dibaca siapa pun, maupun melalui pesan pribadi.
“Dari daerah” yang dimaksud di sini adalah
dari luar DKI Jakarta. “Penulis” yang dimaksud di sini adalah penulis buku.
Tapi kan penulis nggak cuma ….
Ssst, sabar. Baca dulu ya, jangan
langsung ngegas.
Orang Daerah Bisa Jadi Penulis
Memangnya orang daerah bisa jadi
penulis buku? Dilihat hari ini, pertanyaan seperti itu mungkin terlihat lebay
atau menunjukkan rasa insecure tingkat tinggi. Namun, tidak pada masa
itu.
Di negeri ini, sebagian besar media
cetak dan penerbit di negeri ini berkantor pusat di Jakarta.
Tak aneh jika kemudian banyak yang
beranggapan bahwa para penulis yang karyanya dimuat di media cetak tersebut
berdomisili di Jakarta. Begitu juga dengan para penulis yang buku-bukunya terpampang
rapi di Gramedia. Pastilah mereka tinggal di Jakarta.
Padahal, kenyataannya tidak begitu.
Penerbit dan media cetaknya memang berloksi di Jakarta, tetapi para penulisnya
tersebar di berbagai daerah.
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aneh
juga sih kenapa banyak yang mengira untuk menjadi penulis harus tinggal di
Jakarta.
Bukankah dari puluhan tahun lalu sudah ada kantor pos? Sebelum ekspedisi pengiriman swasta marak, Pos Indonesia sudah setia mengantarkan kiriman dari dan ke berbagai daerah di Indonesia.
Termasuk mengantarkan naskah dari
penulis Bandung, penulis Makassar, penulis Balikpapan, dan penulis dari daerah-daerah lain
ke kantor penerbit di Jakarta. Penulisnya diem aja di daerahnya, biar naskahnya
yang terbang melintasi pulau.
Ketika penggunaan internet semakin
meluas, mengirim naskah pun semakin
mudah melalui email. Dari ujung barat Indonesia, misalnya, naskah bisa tiba di
Jakarta dalam hitungan detik.
Artinya, orang daerah pun punya
kesempatan yang sama dengan orang Jakarta untuk menjadi penulis.
Sudah sejak lama banyak orang daerah
bisa menerbitkan buku di penerbit-penerbit besar di Jakarta. Misalnya Gola Gong
dari Serang, Banten.
Sejak pertengahan tahun 1980-an,
buku-buku karya Gola Gong diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Melalui
jaringan penerbit Toko Buku Gramedia, bukunya tersebar ke berbagai kota di Indonesia.
Lalu, kenapa mesti merasa insecure
hanya karena tidak tinggal di ibu kota negara?
Bukan daerah atau Jakartanya yang
menjadi penentu naskah diterbitkan. Penentunya adalah kualitas naskah dan
kesesuaiannya dengan penerbit yang dituju.
Siapa Pun Bisa Menjadi Penulis Asalkan…
…menulis dan memublikasikan karya
tulisnya.
Simpelnya sih gitu. Kalau mau jadi penulis
tetapi tidak pernah memulai untuk menulis, kapan jadi penulisnya.
Mulailah menulis sesuatu, jangan cuma menyimpannya sendiri. |
Bercita-cita jadi penulis dan rajin
menulis, tetapi semua tulisannya disimpan dalam folder terkunci, ya belum bisa
disebut penulis. Hm … baiklah. Penulis buku harian.
Dear Diary, kuingin bercerita,
semalam aku bermimpi….
Sekarang sudah tahun 2022. Semakin
banyak jalan untuk menjadi penulis. Semakin terbuka pula kesadaran bahwa untuk
menjadi penulis tak harus dengan menulis buku.
Iya sih. Masih ada saja yang ngotot,
keukeuh ingin menghasilkan satu buku supaya sah sebagai penulis.
Euh, siapa yang mengesahkan?
Menulis di Media Digital
Buku terbit bukan satu-satunya jalan
untuk menjadi penulis. Yang menulis skenario atau naskah iklan juga disebut
penulis, lho, bukan pawang hujan.
Media digital juga membuka peluang
besar untuk menjadi penulis tanpa harus menerbitkan buku. Yang paling umum
adalah menjadi blogger dan content writer.
Content writer menulis untuk dipublikasikan
di media online dan ia mendapatkan bayaran untuk itu.
Blogger menulis untuk dipublikasikan
di blognya sendiri. Bisa sesuka hati, bisa pula berbayar.
Baca Juga: Blog
Plan, Biar Ngeblog Makin Cuan
Dibandingkan buku yang butuh proses
panjang untuk bisa terbit, memublikasikan tulisan di blog jauh lebih cepat dan
mudah.
Blogger-blogger bermunculan di
berbagai daerah. Tulisan mereka pun beraneka ragam. Ada yang berfokus pada
bidang tertentu (misalnya hanya menulis tentang travel atau teknologi), ada pula
yang palugada alias menulis segala macam hal.
Ada juga yang inginnya berfokus pada
satu tema bahasan saja seperti blog Ada
Resensi ini, tetapi selalu tergoda menulis yang lain-lain juga.
Blogger yang menulis tentang travel
pun macam-macam. Ada yang hobinya berkelana ke berbagai negara. Misalnya
Trinity, yang tulisan-tulisan traveling di blognya telah dibukukan.
Baca Juga: Travel
Writer Indonesia
Blogger pun penulis. |
Ada pula yang berfokus menulis tentang daerahnya sendiri. Jangan salah, potensi wisata daerah di Indonesia ini luar biasa banyak, luar biasa indah. Muncullah travel blogger Bali, travel blogger Balikpapan , travel blogger Aceh, dan lain-lain.
Tak ada lagi galau gundah-gulana
tentang “memangnya orang daerah bisa jadi penulis”. Sudah terbukti bisa, kok.
Tulisan-tulisan mereka dari berbagai daerah
membuka mata banyak orang akan keindahan Indonesia. Apalagi nih, tak sedikit
yang kakinya sedemikian lasak, bertualang ke sana kemari. Termasuk ke
tempat-tempat yang tidak terkenal.
Hei, terima kasih banyak sudah
menulis tentang keindahan Indonesia.
Jalan Ninja
Menulis buku bukan satu-satunya jalan
ninja yang bisa ditempuh untuk bisa menjadi penulis. Banyak jalan ninja lain
yang bisa kita tempuh.
Bersungguh-sungguh di jalan penulisan
yang kita pilih, terus meningkatkan keterampilan menulis. Jika menulis di media
blog, lakukan optimasi
blog agar semakin banyak yang membaca tulisan kita.
Jika menulis dalam bahasa Indonesia,
jangan lupa untuk mengasah kemahiran
berbahasa Indonesia. Fakta lho, banyak orang Indonesia yang tidak peduli
dengan bahasanya sendiri.
Apa pun medianya, yang terpenting,
tetap menulis dalam koridor kebaikan. Tidak menuliskan kebohongan dan
kebencian.
Selamat bersenang-senang menulis dan
menjadi penulis.
Cheers,
Tidak ada komentar
Mohon maaf, komentar dengan link hidup akan saya hapus. Thanks.